Sekelebat momentum
Bukti manusia itu cupu
Dari Semarang Open mei lalu, ada satu poin evaluasi (oleh wali) yang menurut saya cukup menarik. Kira2 intinya begini:
Kenapa nilai anak saya sekian?
Saya dan wali2 lain adalah pihak yang buta aturan lomba, terutama classic slalom. Sehingga dapat nilai berapapun, pada dasarnya hanya bisa menerima. Tapi kegelisahan wali atas hasil yang diterima atlet, juga wajib ditampung dan direspon oleh klub.
Di sisi lain, saya cenderung merespon hasil lomba dengan woles βοΈ
Sistem penilaian
Karena pada dasarnya penilaian yang dilakukan juri sama seperti kasus guru menilai murid di sekolah. Guru menilai murid, subjektifitasnya bisa saja lebih dominan. Apakah murid tersebut baik, jujur, disiplin, dll, daripada sekadar menilai apakah sudah benar 2 + 2 = 4
. Meskipun begitu, yang membuatnya terasa berbeda adalah rentang waktu penilaian classic slalom hanya kurang dari 2 menit. Yaaaa emang waktunya cuma segitu gaesβ¦ π
Nyok masuk subjektifitas yang saya maksud. Misalnya dari seluruh juri, ada satu dua juri yang sifat penilaiannya terkesan subjektif. Dari trik yang misalnya hanya seperti 2 + 2
, penilaiannya bisa sangat kompleks. Kompleksitas penilaian tersebut bisa saja dipengaruhi oleh pengalaman juri, yang mungkin tidak dimiliki juri2 lain. Sehingga yang awam atau juri lain sebut sebagai subjektifitas, bisa jadi merupakan sub-objektifitas. Maka jika nilai yang dihasilkan juri tersebut tidak sama dengan juri lain, bukan berarti tidak mendasar juga.
Belum lagi, kita semua tahu bahwa manusia tidak bisa terhindar dari bias. Semua manusia memproduksi dan mengkonsumsi bias. Dan juri termasuk manusia gaes.
Sekelebat momentum
Nyok kita lompat ke sisi lain yang menyangkut takdir πΆβπ«οΈ. Sekalian saya beri contoh konkretnya.
- Latihan ber-bulan2 tidak pernah berhasil, saat lomba tiba2 berhasil.
- Hanya latihan trik sekali dua kali, sudah berhasil dipakai saat lomba.
- Latihan tidak pernah serius, saat lomba justru menang.
- Tidak pernah berekspektasi yang tinggi2, saat lomba justru dapat emas.
Tentu kasus yang berkebalikan dari contoh di atas juga tidak kalah banyak, silakan didaftar sendiri.
Seperti yang saya akui di atas, saya termasuk yang biasa2 saja merespon fenomena semacam itu. Karena memang gak ada yang mengherankan. Itu semua masuk ke wilayah takdir yang tidak satu pun makhluk dapat mengendalikannya. Melatih agar mampu melakukan trik tertentu, tidak sama dengan agar saat lomba berhasil atau juara. Apalagi dalam kasus classic slalom, setahu saya ada minimal tiga juri yang menilai.
Juri merupakan penentu yang keputusannya tidak dapat diganggu gugat. Juri menilai bagus ya bagus, menilai buruk ya buruk. Senada dengan contoh2 takdir di awal, juri juga mendapatkan jatah takdirnya sendiri. Misalnya, salah satu juri mendapati sekelebat titik buta pada trik tertentu sehingga tidak terlihat jelas apa yang sebenarnya terjadi. Dengan kondisi tidak ada waktu untuk berpikir karena harus melanjutkan penilaian di trik selanjutnya, maka nilai yang dihasilkan pun bisa dikatakan tidak sempurna. Tapi, senada dengan keputusan juri tidak dapat diganggu gugat, ketidaksempurnaan nilai tersebut juga tergolong sah π
Kesimpulan
Satu2nya hal yang paling masuk akal untuk dievaluasi adalah keterampilan atlet. Lebih luas lagi, ada evaluasi kepelatihan di klub, dst. Selain itu, rasanya tidak perlu ada yang di-besar2kan. Apalagi kita tahu bahwa pemeran utamanya bukan atlet, juri, penyelenggara atau siapapun saja, melainkan Tuhan. Kita bahkan tidak kuasa atas takdir yang dihasilkan dari sekelebat momentum, yang mungkin tidak lebih dari sekejapan mata. Jadi ya woles aja gaes.
Sebagai tambahan, pada acara Kejuaraan Sepatu Roda Provinsi Jawa Timur 27 juli kemarin, peserta lomba tidak sebanyak sebelumnya. Maka jangan lupa hitung kenyataan tersebut sebagai bonus dari Tuhan βοΈ