Personalitas menurut Presiden
Kalau sudah presiden, ya gak ada personal
Ada presiden yang merespon acara debat capres kurang lebih begini, “Saling menyerang nggak apa-apa tapi kebijakan, policy, visinya yang diserang. Bukan untuk saling menjatuhkan dengan motif-motif personal. Saya kira nggak baik dan nggak mengedukasi”. Respon presiden tersebut bisa kalian baca di sini.
Jika kalian setuju, silakan 🙃
Seperti halnya masalah nilai di tulisan Nilai menurut Presiden, di sini saya juga akan menawarkan pemahaman lain tentang personalitas.
Tapi sebelum itu, saya akan tekankan satu hal. Saya orang biasa. Bekerja di sektor swasta dengan biasa juga. Sangat jauh dari lingkaran partai politik. Tidak ada urusan dengan capres cawapres. Sehingga jangan sekali2 terjebak menyimpulkan bahwa saya adalah relawan, pendukung, apalagi buzzer salah satu paslon. Kenapa ini saya tekankan? Karena sangat mungkin di antara kalian mengira atau berkeyakinan, bahwa saya pro paslon 1, 2 atau 3. Sebab kita pada dasarnya tidak akan pernah bisa netral gaes. Manusia hidup di dalam dualitas. Kalau tidak tinggi, ya rendah. Kalau tidak benar, ya salah. Hanya berbeda kadar saja yang sering manusia kira mereka netral.
Personalitas
Kita beranalogi aja yak. Semoga lebih mudah dipahami.
Saya adalah frenyaif. Saya punya banyak sekali ciri, yang akhirnya menjadikan saya unik di antara yang lain. Keunikan itu lah yang disebut personalitas.
Karena terdiri dari banyak sekali ciri, maka output personal juga banyak sekali variasinya. Misalnya, saya gemar makan mie goreng pedas. Pertanyaannya, apakah itu artinya saya juga gemar makan nasi goreng pedas? Atau yang lebih ekstrim, apakah itu artinya saya juga gemar nyemil lombok?
Penyimpulan2 tersebut masuk akal, karena ada ciri yang dijadikan pegangan, yaitu pedas. Tapi apakah dua kemungkinan tersebut bisa dianggap masuk wilayah personal? Bisa ya, bisa tidak.
Pada dasarnya, saya tidak gemar makan nasi goreng. Tapi jika ada sensasi pedas, mungkin akan lain. Apalagi jika ditambah kerupuk gurih nan renyah. Nah, ini adalah contoh pendekatan personal. Meskipun pada satu titik tidak cocok, tapi jika dikombinasikan dengan titik2 lain, akhirnya masuk juga ke wilayah personal.
Selanjutnya, saya tidak gemar nyemil lombok. Tapi akan berbeda 180° jika ditemani dengan tahu goreng. Sekali lagi ini membuktikan bahwa kontribusi variabel personal lainnya dapat mengubah koordinat personalitas yang dimaksud.
Personalitas Turunan
Jika saya bekerja sebagai kuli, artinya saya yang kuli merupakan personalitas turunan dari saya yang frenyaif. Personalitas turunan ini biasa kita sebut sebagai identitas.
Identitas hidup di ruang dan waktu yang berbeda dengan personalitas. Saya yang kuli hanya berlaku di tempat dan waktu saya sedang nguli. Di luar itu, saya tidak lagi kuli.
Jika saat saya nguli melakukan kesalahan, maka yang salah adalah saya yang kuli, bukan saya yang lain. Tapi, getaran kesalahan kuli bisa saja sampai ke wilayah personal saya. Apalagi jika secara spesifik turunannya berasal dari personal murni.
Misalnya begini. Kekuatan otot saya lemah. Idealnya, saya hanya mampu mengangkat batu bata 5 balok. Jika saya memaksa mengangkat 2x lipat, maka kecelakaan bisa saja terjadi. Nah, ini merupakan contoh kasus identitas yang menurun murni dari personalitas. Dia segaris, tidak dapat diputus. Otot saya yang kuli ya sama persis dengan otot saya yang frenyaif. Kecelakaan dalam nguli, juga merupakan andil dari kemampuan personal. Sebaliknya, kekuatan otot secara personal juga bisa meningkat seiring berkembangnya kemampuan nguli.
Personalitas Tiruan
Kasus personalitas tiruan ini mudah kita jumpai di dunia akting. Yang lebih lembut lagi, ada di kasus pasangan yang sedang berpacaran, di keluarga, maupun dalam bernegara. Personalitas tiruan ini biasa kita sebut sebagai peran.
Sekilas peran ini mirip dengan identitas, padahal tidak. Karena peran adalah personal yang lain. Berperan itu menjadi, bukan sebagai. Si A berperan menjadi B. Sehingga keberhasilannya bisa dilihat dari apakah masih ada A? Atau A sudah tiada sehingga hanya ada B?
Perbedaan lain antara peran dan identitas adalah peran berhak atas personal. Jika saya presiden, maka peran presiden berhak “membunuh” personalitas saya. Apalagi jika personalitas yang saya miliki berpotensi menyebabkan saya bertindak bodoh, yang efeknya jelas berdampak langsung ke rakyat.
Artinya, saat peran berhak atas personal, maka personal berkewajiban untuk patuh terhadap peran tersebut. Karena saat peran disepelekan, maka output-nya akan sangat kacau. Bayangkan seorang aktor berperan menjadi pembantu, tapi dalam akting yang disuruh bersih2 adalah majikan?
Kesimpulan
Silakan disimpulkan sendiri (lagi) ya gaes. Yang jelas, saya tidak pernah mempersoalkan siapa presidennya. Karena yang terpenting adalah bagaimana seorang tersebut menjadi presiden. Terlebih lagi, sang sutradara langsung nanti yang menilai ☕️