Cukup cari sumbernya
Tutorial boleh, asalkan hati-hati
Sebenarnya, topik ini tidak terbatas pada pengalaman nguli saja. Apa saja akan pas jika kita berpijak pada prinsip ini.
Berawal dari sangat banyaknya pengalaman mencari referensi nguli, dimana banyak sekali tutorial berhamburan yang sangat seksi nan menggoda. Tapi, karena ini dunia teknologi, sampai2 akhirnya saya simpulkan bahwa sebuah tutorial seksi nan menggoda hanya akan ber-umur sedetik saja. Bayangkan, seksi tapi umurnya sedetik, sedetik kemudian udah keriput, kira2 begitulah kalau diibaratkan pemain bokep *eh.
Dan itu tidak berlebihan, mengingat liarnya perubahan, dan perubahan juga tidak datang atas ide atau solusi dari satu pihak saja, banyak pihak yang berkaitan dan saling mempengaruhi. Misalnya satu library Javascript, pergerakannya bisa dipicu oleh pergerakan browser. Si browser, juga dipicu oleh tuntutan teknologi, misalnya oleh HTML 5, dst. Hal inilah yang menyebabkan pengalaman mencari referensi selalu berakhir buruk, terutama jika yang dituju adalah sebuah tutorial.
Bukan salah tutorial
Masa hidup sebuah tutorial sangat bergantung pada masa hidup bahan yang dipakai dalam tutorial. Kalau ada tutorial React, masa hidup tutorial akan bergantung bagaimana pergerakan si React. Andaikan hari ini kita membuat tutorial tentang React v16.11.0, si React kan gak diem yak, dia kan juga makhluk hidup yak, dia kan juga pengen dewasa, terus kawinlah dia. Kalau sudah begitu, apa daya sebuah tutorial yang sudah berusaha menyuguhkan tahap2 sebaik dan sedetail mungkin, tapi ditinggal kawin oleh si React. Itu sebuah resiko, yang sebenarnya sudah bisa ditebak sehingga anggap saja sudah konsekuensi, konsekuensi yang menyakitkan tentunya.
Bagaimana sebaiknya?
Bagi pembelajar, cukup cari saja sumbernya. Kalau ingin belajar React, belajarlah di situs resminya React. Selain up-to-date, situs resmi (hampir) selalu menyuguhkan tulisan yang filosofis. Filosofi inilah yang sebenarnya menjadi pijakan yang kuat bagi pembelajar untuk ke depannya, bukan sekedar “bagaimana caranya” atau bahkan “asal bisa”.
Bagi penulis tutorial, tidak perlu ada yang dikhawatirkan, cukup arsipkan saja tutorial yang sudah usang dan buat yang baru, kecuali jika tutorial itu berupa buku fisik. Ini yang ironis, tidak sedikit tutorial yang berhamburan di rak toko buku, dan umurnya sudah bertahun-tahun. Dulu, kebetulan ada teman yang ingin belajar Symfony, dibelilah sebuah buku di toko buku. Ketika mencoba mengikuti tahapan2 di buku tersebut, percobaan gagal. Bagaimana tidak, versinya sudah ketinggalan jauh tjoy, dimana versi Symfony yang ada di buku sudah tidak tersedia, gimana coba? Belum lagi kerugian materi yang ditanggung tidak hanya oleh satu pihak saja, teknologi bisa senyahat ini.
Tapiiiiiii, untuk buku yang tidak menyangkut dengan teknologi terutama perkulian, saya rasa buku fisik tetap jadi rujukan yang lebih baik dari pada buku elektronik.
Jarak antara sumber dan fafsir, serta bahayanya
Bagian ini sebenarnya bisa dilihat fenomenanya di banyak contoh, terutama di kitab suci, banyak yang keliru memahami antara kitab suci dan tafsir. Di contoh kasus pengalaman saya dalam mencari referensi nguli berupa tutorial, penjelasan dalam tutorial akan sangat bergantung kepada pengalaman empiris penulis tutorial. Misalnya, tahap penggunaan Docker antara pengguna Linux - MacOS - Windows. Jika saya pengguna MacOS, maka tutorial yang saya buat tidak mungkin jauh dari pengalaman saya menggunakan Docker di MacOS. Yang bahkan, pengalaman yang saya alami bisa jadi tidak terjadi di perangkat berbeda meskipun dengan OS sama, bisa jadi.
Ingat, itu masih menyangkut OS dan perangkat, banyak lagi hal yang mempengaruhi. Sehingga, pasti ada gradasi pemahaman disini, terutama bagi pembelajar yang belajar dari sebuah tutorial berdasarkan pengalaman dari penulis tutorial, bahaya jika tidak memahami perbedaan antara maksud sumber dan maksud tafsir, hanya larut dalam tafsir dari penulis tutorial. Jika berhasil mencapai manfaat, oke bagus, tapi jika semakin tersesat dan batal belajar?
Sebenarnya mudah saja bagi pembelajar dalam menyikapi ketersesatan ini, yaitu kembali ke sumbernya!
Yakinlah, referensi terbaik hanya ada pada sumbernya. Jika tersesat, cukup cari sumbernya! Beres...
Satu fakta lagi yang harus kita luruskan, misalnya Docker, bahwa Docker tidak sama dengan dokumentasi Docker kan? Sumbernya-pun ternyata terdapat jarak (celah), yang bisa kita temukan dalam bentuk bug dkk, di dokumentasi menyatakan A tapi Docker menyatakan 1/2 A.
Begitulah hidup, dinikmati saja... ☕️