Belajar, tidak akan pernah ada versi instannya
Gak perlu mikir dulu untuk belajar, mikirlah saat belajar
Kalian pernah sekolah gak gaes? Kalau ada yang gak pernah sekolah, saya sangat mensyukurinya karena tidak sampai menjadi bagian dari anak2 yang “tersesat” sebagaimana saya. Dan kalian yang pernah atau sedang sekolah, semoga tulisan ini bisa sedikit membesarkan hati kalian. Hati saya juga sih… 🫠
Gaes, kita semua tahu bahwa belajar tidak harus di sekolah. Tul gak? Bukti sederhananya adalah dengan adanya PR.
Ya iya lah, namanya aja pekerjaan rumah… 😤
Tapi maksud saya begini. Yang dalam konteks belajar materi dari sekolah saja harus diperlebar medan belajarnya, sehingga ada PR. Harus diselingi keterampilan lain, misalnya seni. Lebih baik dikombinasi dengan kegiatan fisik, misalnya ada olahraga. Dan sebaiknya lebih banyak lagi variasi2 lainnya. Maka idealnya sekolah bukanlah medan belajar yang kita wajibkan sepenuhnya.
Ingat ya, saya menitik beratkan pada kitanya, bukan sekolahnya. Kalau sekolahnya ya silakan semau-maunya gimana. Lagian saya bukan bapak mereka gaes…
Kilas Balik
Memang iya, saya masuk TK dulu sangatlah antusias. Belum waktunya sekolah, karena masih di bawah umur rata2, tapi maunya sekolah aja. Untungnya dulu tidak kayak sekarang, bisa dilarang sekolah tuh saya. Disuruh menunggu tahun depannya. 🤬
Di saat TK oke lah ya, masih banyak main2. Hati masih diselimuti kegembiraan, sampai gak tau dengan alasan apa kok saya lulus dengan penghargaan peringkat 1 waktu itu. Kalau pinter sih kayaknya enggak. Kalau terampil, masih ada kemungkinan. Tapi intinya gitu, oleh sekolah saya diberi penghargaan peringkat 1.
Nah, cerita berputar 180º saat masuk SD… 😵💫
Saya benar2 tidak tahu, serangan macam apa yang saya terima dulu. Masuk sekolah bawaannya pengen pulang mulu. Gak ada tuh perasaan senang sama sekali. Masa transisinya lama itu gaes, sampe kelas berapa gitu baru saya mulai menemukan ritme “permainan” sekolah. Ternyata sekolah itu begini ya, harus bisa ini itu, hafalan ini itu, dll.
Baru saat udah tua ini saya menemukan peta belajar di sekolah itu gimana.
Materi Belajar
Materi belajar di sekolah itu ibarat menu makanan prasmanan, banyak banget. Selain itu belum tentu juga kita ada satu yang suka. Udah banyak tapi kita gak ada yang suka, gimana dongs?
Sialnya, kita di sekolah kan diwajibkan bisa semuanya gaes. Kalaupun ada guru yang membesarkan hatimu meskipun hanya mampu pada satu atau dua mata pelajaran, itu karena gurunya masih manusia aja. Sistemnya sampai sekarang ya masih kayak gitu, belum ada yang benar2 berubah. Belum lagi, apa yang sudah kita pelajari di sekolah, apakah benar2 teraplikasikan di kehidupan kita gaes?
Saya merasakan kemirisan luar biasa. Bukan karena perjalanan belajar saya di sekolah yang miris, melainkan kehadiran sekolah yang banyak di-agung2-kan sebagai sarana kemajuan jaman ternyata tidak benar2 berkontribusi di kehidupan nyata.
Coba kita ambil contoh, misalnya matematika. Dari 9-12 tahun kita belajar matematika, sudah berapa banyak yang kamu pelajari dari matematika? Berapa persen kontribusi kehebatanmu ber-matematika di kehidupan nyatamu? Coba buat perbandingannya! Jangan lupa, ambil contoh juga pada mata pelajaran lainnya!
Saya yakin ada yang perbandingannya tipis, yang berarti teraplikasikan dengan baik. Tapi saya juga yakin perbandingannya jauh dengan anak yang menghasilkan perbandingan jauh. Ketidak-tepatan sistem belajar di sekolah sudah terlihat sangat tidak efektif di sini.
Pendalaman Belajar
Beruntung saya dulu memilih untuk masuk ke sekolah kejuruan. Meskipun motivasinya tidak patut dibanggakan, yaitu karena ingin bisa langsung kerja. Udah males sekolah soalnya gaes, capek 🥵. Tapi nyatanya materi pemasaran yang dilakukan sekolah2 ya gitu, anak STM bisa langsung kerja. Lucu kan yak? Masak gak lucu? 🥹
Belum lagi logika terbalik yang digunakan. Sekolah bekerja sama dengan perusahaan A B C, sehingga lulusannya ada jaminan bisa langsung kerja. Masak saya harus bangga dengan fakta seperti itu gaes?
Ah lanjut lanjut… Agak mendidih ini saya…
Karena STM adalah sekolah kejuruan, maka materi belajar yang sebelumnya banyak banget sekarang menjadi cukup banyak. Lumayan berkurang kan yak. Dari sini juga akhirnya apa yang kita pelajari memasuki fase pendalaman.
Saya sempat ber-tanya2, kenapa baru pada kelas 10 (SMA / STM) yak kita mendapatkan materi pendalaman? Kalau alasannya adalah kesiapan mental, orang dewasa yang prematur atau bahkan sakit mental kan banyak juga? Apalagi orang2 yang di sana itu…. Duh masih mendidih gaes, maap2…
Misalnya saja pada kelas 4 SD ternyata sudah terlihat ketertarikan dan potensinya, bisa2 saja kan dilakukan akselerasi belajar. Dan saya yakin banyak sekali potensi percabangan pendalaman di situ. Itu yang jadi masalah juga ketika sekolah yang mendeklarasikan diri sebagai fasilitator tidak mampu mengakomodasi potensi menakjubkan sang anak.
Tidak Bisa Dibatasi
Sebut saja saya pada saat itu masuk jurusan listrik. Dalam waktu 3 tahun tersebut sangat mungkin untuk saya melalui pendalaman sesuai “perjanjian” kurikulum belajar. Masalahnya tetap saja kurikulum masih harus taat kepada batasan masalah. Bisa saja karena keterbatasan alat kerja, tempat kerja, atau bahkan kurangnya pengalaman pendidik. Yang paling jelas menjadi batasan adalah karena memang ilmu tentang kelistrikan tidak mungkin bisa diserap dalam waktu 3 tahun saja.
Bisa dibilang, pendalaman belajar tidak akan ada habisnya. Bisa jadi sepanjang jaman bergulir, pendalaman atas suatu ilmu akan tetap berlangsung.
Kesimpulan
Belajar itu gak akan ada versi instannya gaes, ciyus, yang ada adalah versi efektifnya. Jika kita belajar secara efektif, maka ada kemungkinan waktu yang dibutuhkan lebih singkat. Ingat ya, masih kemungkinan. Karena pada dasarnya kita-pun beda satu sama lain. Ibarat komputer, prosesornya beda2, kapasitas hardisk beda2, dll. Cara implementasi yang disebut belajar efektif juga pasti ber-macam2, tidak bisa cara satu bisa efektif di semua anak.
Menariknya, hasil belajar efektif yang memuaskan juga ada kemungkinan beranak menjadi kehausan belajar baru yang tidak kalah seru dan butuh waktu panjang dalam mengarunginya. Kita butuh motivasi yang tepat untuk belajar. Kita butuh gairah belajar yang tiada henti semacam itu untuk menjadi semakin dewasa. Sering saya menyebut, kita masih punya kesempatan melesat lebih tinggi, jika kita tidak berhenti berjalan. Semangat gaes! ☕️